Sunday, April 7, 2013

POLA TANAM HUTAN RAKYAT tekhnik Silvikultur



Tekhnik Silvikultur
Pengelolaan hutan rakyat merupakan bagian dari seluruh aktivitas petani di lahannya. Teknik silvikultur yang banyak diterapkan masyarakat pada umumny masih silvikultur tradisional dan kegiatannya bervariasi pada tiap periode perkembangannnya. Kegiatan silvikultur hutan rakyat terdiri dari pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan pemanenan.
1.      Pemilihan Jenis
Terdapat 4 faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan suatu jenis tanaman di hutan rakyat, yaitu :
a.       Jenis tanaman harus disukai dan sudah dikenal masyarakat serta sudah diketahui teknologi penanamannya.
b.      Jenis harus cocok dan sesuai dengan kondisi lingkungan/biofisik dimana akan ditanam agak produktivitas maksimal.
c.       Jenis yang dikembangkan harus jelas jaringan pemasaran yang akan menampungnya.
d.      Aksesbilitas harus mudah hubungannya dengan pemasaran hasil.

2.      Persiapan Lahan
Persiapan lahan sebelum penanaman untuk jenis-jenis tanaman kehutanan tidak terlalu rumit, biasanya mereka membuat teras-teras bangku yang sederhana untuk areal yang miring dengan bahan seadanya, setelah itu membuat lubang tanam (± 10 cm – 15 cm), sedangkan untuk tanaman pertanian, persiapan lahan lebih intensif lagi dengan mencangkul, membuat gundukan dan larikan sebelum membuat lubang tanam dan menanamnya.
3.      Penanaman
Pada awalnya masyarakat hanya menanam jenis tertentu (sengon, mahoni) di lahan milik mereka dengan jarak yang tidak beraturan. Bibit berasal dari biji, ada juga cabutan dari tempat lain, dengan ukuran bibit setinggi ± 15 cm – 20 cm. Kondisi saat ini petani sudah menerapkan jarak tanam sesuai tujuan penanaman untuk daerah-daerah tertentu.
4.      Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman masih dilakukan dengan cara sederhana, namun beberapa petani sudah menggunakan pupuk (urea, pupuk kandang dan obat-obatan untuk hama). Penjarangan juga dilakukan oleh petani, namun caranya masih adanya yang bukan menebang pohon yang pertumbuhannya kurang baik untuk memberi kesempatan tumbuh lebih cepat pada pohon sekitarnya, tapi justru menebang pohon yang pertumbuhannya baik dan cepat yang dapat dijual segera atau dijadikan papan.
5.      Pemanenan
Penebangan pohon yang dilakukan oleh petani umumnya bervariasi dari umur tegakan 5-10 tahun sesuai dengan kebutuhan dan pasar. Tanaman kayu-kayuan ditanam sebagai investasi atau tabungan masa depan kecuali untuk perabaikan rumah sendiri atau dijual antar tetangga yang membutuhkan.
C.     Sistem Silvikultur
Beberapa hasil penelitian di lapangan (Widiarti, 2001 ; Prabowo, 2000; Attar, 2000)praktek sistem silvikultur yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia dalam rangka pengelolaan hutan rakyat adalah :
1.      Sistem tebang habis dengan trubusan (THT)
Sistem tebang habis dengan trubusan biasanya dilakukan pada hutan rakyat murni albizia dan jati yang ditumpangsarikan dengan tanaman semusim sampai pohon albizia berumur ± 2 tahun. Seluruh tanaman albizia pada umur 5-6 tahun ditebang habis, sedangkan tanaman jati biasanya di atas umur 20 tahunan baru ditebang. Untuk membentuk tegakan selanjutnya, dipilih tunas yang tumbuh cukup banyak dari tunggul bekas tebangan. Tunas dipilih 2 – 3 yang tumbuh baik, berbatang lurus dan sehat. Pada umur 3 – 5 tunas-tunas tersebut dapat dipungut lagi hasilnya. Berdasarkan pengalaman untuk tanaman albizia di daerah Sukabumi dan Tasikmalaya (Jawa Barat), tunggul yang diterapkan pertama (pohon induk) cukup baik untuk menghasilkan tiga kali trubusan biasa dilakukan di Desa Gunungsari, Bojolali dan Desa Sumberejo, Wonogiri, Jawa Tengah. Sistem ini menghemat biaya pembuatan tanaman namun kualitas tegakan yang dihasilkan mutunya belum tentu sama dengan tegakan sebelumnya (kurang baik).

2.      Sistem tebang habis dengan permudaan buatan (TPHB)
Sistem silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan dilaksanakan pada hutan rakyat yang sudah dikelola dengan baik. Petani mempunyai lahan yang cukup luas dan modal yang cukup. Sistem seperti ini dilaksanakan pada hutan rakyat murni akan tetapi sistem ini masih jarang dijumpai di lapangan.
3.      Sistem tebang pilih dengan permudaan alam (TPPA)
Sistem silvukultur tebang pilih dengan permudaan alam dilakukan pada areal hutan rakyat campuran dan wanatani, Yakni setelah menebang sejumlah pohon tertentu yang dianggap sudah cukup umur sebagai pohon pengganti adalah anakan setempat. Sistem ini telah diterapkan di Desa Sumberejo, Bojolali, Wonogiri, Jawa Tengah dimana petani hutan rakyat akan menebang bila tanaman benar-benar telah siap tebang dengan beberapa kriteria (tebang pilih) yaitu batangnya telah cukup untuk membuat tiang rumah atau diperkirakan berdiameter sekitar 30 cm dan petani menebang jika benar-benar membutuhkan. Setelah menebang, petani tidak menanami areal bekas tebangan, cukup mengandalkan permudaan alam yang memang jumlahnya cukup berlimpah, sehingga tidak membuat bibit tanaman buatan.
Keadaan sistem silvikultur seperti diatas, biasanya menunjukan bahwa hutan rakyat belum dikelola secara baik karena petani hanya memungut beberapa pohon sesuai kebutuhan dan akibat beragamnya umur dan jenis pada satu lokasi.
Kelemahan sistem silvikultur tersebut adalah tidak didapatkannya jumlah kayu yang cukup pada sautu waktu tertentu dengan kualitas yang baik, karena bibit yang berasal dari kongkoak belum tentu dengan kualitas mempunyai mutu yang baik.
4.      Sistem tebang pilih dengan permudaan buatan (TPPB)
Sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan buatan, dilakukan diaman pohon-pohon yang akan ditebang dipilih menurut keperluannya dan permudaanya dilakukan dengan menanami kembali bekas tebangan tersebut dengan bibit /anakan yang telah dipersiapkan sebelumnya, akan tetapi seringkali biji yang dipakai bukan berasal dari pohon yang plus, tetapi dari pohon tebangan disekitar lokasi, sehingga kualitas bibit kurang baik. Sistem silvikultur seperti diatas dijumpai pada hutan rakyat yang berbentuk campuran dan hutan agroforestry/wanatani.

0 comments:

Post a Comment